Monday, September 13, 2010

Politik Rasialis di Sudut Malaysia


SABAH, KOMPAS.com - Negara Bagian Sabah, di ujung timur Malaysia, semestinya menjadi melting pot bagi keberagaman Malaysia. Komunitas Tionghoa Hakka, suku asli Kadazan-Dusun, suku-suku di pesisir seperti Bajau, Suluk, dan Sungai, hidup berdampingan serta saling kawin-mawin di masa silam. Hubungan antarkaum dan antaragama sangat cair serta tidak ada prasangka.

Komposisi penduduk Sabah di masa silam menyulitkan Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO) dan Barisan Nasional (BN) untuk menguasai negara bagian yang sangat plural itu. BN adalah koalisi partai di mana UMNO menjadi penentunya.

Nyaris seratus persen penduduk Sabah kala itu adalah warga yang tidak masuk kategori Melayu (pendukung utama UMNO dan BN). Warga pemeluk Islam asli Sabah pun seperti suku Suluk, Bajau, dan Sungai tidak memiliki kaitan langsung dengan warga Melayu Semenanjung.

Sabah pun dianggap anak nakal secara politik karena tidak bisa dikuasai BN yang kini membangun ”Orde Baru” ala Malaysia dengan basis politik rasial seperti Afrika Selatan di masa apartheid. Hak-hak khusus diberikan berdasarkan asal-usul rasial di Semenanjung Malaysia yang ditularkan ke Sabah dan Sarawak.

Situasi yang harmonis di Sabah berubah drastis tahun 1970-an hingga 1990-an. Salah satu tonggak perubahan adalah masa kepemimpinan Tun Datu Mustapha bin Datu Harun (1967-1975). Kala itu, demi kemenangan UMNO, diimporlah pendatang Filipina Selatan dan Indonesia untuk menjadikan warga asli Kadazan-Dusun dan Tionghoa Sabah minoritas.

”Overnite” Bumi Putra
”Waktu zaman Tun Mustapha menjadi Menteri Kepala Negara Bagian Sabah mulai dikenal istilah overnite Bumi Putra. Orang yang baru datang dari Filipina dan Indonesia dijadikan warga asli. Mereka diberikan kartu identitas dan dokumen sebagai warga Sabah,” ujar Soleh, seorang warga Sabah.

Tun Mustapha pada medio 1970-an juga mengusir para misionaris yang mengajar di sekolah-sekolah pedalaman Sabah. Sangat ironis mengingat seperti di pedalaman Papua, para misionaris berjerih payah membangun sekolah dan mendidik warga pedalaman Sabah.

Karangan Datuk Peter Motunjin, seorang putra asli Sabah yang menulis sepak terjang Tun Mustapha, dilarang terbit. Politik rasial ala Semenanjung pun ditancapkan di Sabah.

Walhasil, dukungan suara untuk UMNO dan BN pun menggelembung di Sabah. Jadilah kekuasaan dari kubu politisi lokal beralih ke tangan penguasa di Semenanjung Malaysia.

Reformis dari kubu Pakatan Rakyat, Nurul Izzah Anwar, mengatakan, Sabah dan Sarawak sudah dijadikan fixed deposit oleh kubu penguasa.

Sumber mengatakan, pada akhir 1970-an dan 1980-an aparat Indonesia juga mengizinkan migrasi kelompok-kelompok anti-Pancasila untuk pindah ke Sabah. Sabah menjadi lokasi mereka mengembangkan jaringan ke Filipina Selatan, Sulawesi Selatan, dan Jawa.

Apeng—bukan nama asli—seorang Tionghoa Hakka generasi keempat juga mengeluhkan kondisi Sabah dewasa ini. ”Dulu kala semua rukun, tidak ada perbedaan karena etnis atau keyakinan. Kenapa ketegangan politik di Semenanjung mesti dibawa ke Sabah,” ujar dia.

Sabah hari ini masih eksotis sebagai tujuan wisata alam dan petualangan. Namun, situasi politik di Sabah bagai bara dalam sekam. Sabah-Sarawak menjadi pertaruhan terakhir bagi kubu penguasa BN yang mengandalkan politik rasis.

”Kalau Sabah-Sarawak mendukung oposisi, ada harapan untuk membangun Malaysia baru yang plural dan tidak berdasarkan sentimen rasial,” ujar Amir, seorang mantan wartawan, warga Semenanjung yang mendukung perubahan Malaysia. (Iwan Santosa dari Kota Kibalau, Sabah)

No comments: