Sunday, September 12, 2010

‘Green Protectionism’ Kecoh RI




INILAH.COM, Jakarta - Negara-negara maju terus melakukan tekanan terhadap industri CPO RI dengan dalih lingkungan. RI diminta jangan terkecoh. Hal itu hanya memproteksi kepentingan negara maju.

Joko Supriyono, Sekretaris Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mengatakan, pemerintah tidak boleh diam menyikapi penghentian pembelian crude palm oil (CPO) RI oleh Burger King. Sebab, ini merupakan urutan kesekian kalinya dari kasus-kasus serupa sebelumnya karena alasan lingkungan seperti Unilever dan Nestle.

Indonesia tidak boleh diam menghadapi tekanan internasional. Sebab, yang melakukan tekanan bukan hanya non-governmental organizations (NGO) tapi juga negara-negara maju terutama Eropa dan AS. “Jangan-jangan ada skenario besar, yang ada kaitannya dengan ekonomi politik,” katanya kepada INILAH.COM, di Jakarta, Rabu (8/9).

Sebelumnya, perusahaan waralaba Burger King resmi menghentikan pembelian CPO dari Indonesia yang dituduh merusak hutan hujan. Jaringan makanan siap saji hamburger yang mendunia ini membatalkan kontrak dengan PT Sinar Mas Agro Resources and Technology (SMART).

Joko menengarai, hengkangnya Burger King dari SMART, ada kaitannya dengan ekonomi-politik. “Bahkan negara-negara maju juga melakukan tekanan terhadap industri kelapa sawit RI dengan memperalat NGO,” timpalnya.

Dia menduga, negara-negara maju tidak ingin Indonesia makin maju. Negara maju hanya ingin, Indonesia tetap jadi negara berkembang. “Sebab, dengan bertahannya status RI sebagai negara berkembang, akan tercipta ketergantungan negara miskin kepada negara kaya,” tukasnya.

Menurutnya, negara maju membuat sistem dan standar dengan berbagai dalih sertifikasi dan standardisasi. “Tapi, tujuannya adalah membuat negara berkembang tidak kompetitif terutama dalam produk pertanian CPO,” ungkap Joko yang juga Direktur PT Astra Agro Lestari itu.

Artinya, lanjut Joko, bukan CPO yang merusak alam, tapi negara maju berkepentingan agar negara berkembang tidak jadi negara maju. “LSM diperalat negara-negara maju itu termasuk bisa jadi juga Greenpeace,” ucapnya.

Sebab, gerakan kampanye hijau mengglobal dan sistematis hanya menjadikan kelapa sawit sebagai target dan tidak bisnis yang lain. “Misalnya, bisnis oil and gas yang sebenarnya merusak lingkungan. Begitu juga pertambangan batubara, emas, dan pembangkit listrik,” tuturnya.

Semua bisnis yang merusak lingkungan itu, merupakan bisnis negara-negara maju. Tapi, bisnis ini tidak diserang, ditekan, dan tidak dikritisi. “Jadi, kepentingan bisnis negara maju tetap diproteksi,” imbuhnya.

Bisnis yang mengancam eksistensi produk-produk bisnis negara-negara maju diserang dan ditekan. Caranya, dengan berbagai hambatan non-tarif, sehingga tidak mengganggu bisnis minyak nabati negara maju.

Bisnis sawit RI dianggap mengancam produk serupa yang dibuat negara maju terutama minyak nabati Eropa. “Produksi minyak nabati Eropa sama dengan CPO RI, tapi mereka merasa terancam jika tidak diproteksi,” paparnya.

Saat ini, subsidi CPO negara maju sudah dikurangi melalu WTO. “Karena itu, agar produk Eropa dan AS tetap kompetitif, mereka menerapkan non tarif barier dengan melakukan tekanan-tekanan ke negara berkembang. Alasannya, kelestarian lingkungan,” ujarnya.

Padahal, dari sisi lingkungan, kelapa sawit merupakan yang paling sustainable dibandingkan bisnis batubara, power plan, dan pembangkit tenaga listrik. “Bahkan bisnis kelapa sawit dibandingkan kanola, jauh lebih ramah,” ucapnya.

Pasalnya, land use kelapa sawit jauh lebih efisien, produktivitasnya lebih tinggi, dan kemampuan menyerap emisinya juga lebih besar. “Dari sisi ini tidak ada alasan untuk menyerang kelapa sawit. Alasan lingkungan hanya jadi dalih,” tandas Joko.

Itulah yang memunculkan gerakan proteksionisme hijau (green protecsionism). Sebuah gerakan dengan dalih lingkungan, tapi sebenarnya untuk memproteksi bisnis minyak nabati negara maju. “Pemerintah harus menyadari, landscape global dalam bidang ekonomi politik,” tambahnya.

Joko meminta pemerintah jangan terkecoh, seolah-olah ada isu lingkungan. “Menurut saya bukan isu lingkungan. Jangan sampai, pejabat tinggi intelektual, tidak sadar akan hal itu,” tegas Djoko.

Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, pemerintah menginginkan agar industri kelapa sawit Indonesia diperlakukan adil dalam kancah perdagangan internasional. Karena itu, menurutnya, berbagai alasan yang menyudutkan CPO dalam negeri hendaknya dilakukan secara objektif.

RI harus kencang menjelaskan, jangan sampai ada barier untuk taktik dagang dengan tujuan melindung kepentingan negara maju. “Bagaimanapun, harga CPO relatif lebih murah. Jadi jangan sampai industri dalam negeri diperlakukan tidak fair. Apalagi, jika isu lingkungan tersebut hanya dijadikan sebagai taktik perdagangan,” tandasnya. [mdr]

No comments: