Friday, September 3, 2010

Pidato SBY Soal Malaysia Negara Serumpun Sudah Basi, Malaysia Perlu Shock Therapy


Jakarta - Dalam pidatonya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membawa latar belakang sejarah hubungan antara Indonesia-Malaysia. Hubungan persahabatan bak kakak-adik, atau negara serumpun itu dinilai basi. Malaysia butuh shock therapy setelah berkali-kali 'ngelunjak'.

"Penekanan saya di sini, kita tidak usah gunakan kata tetangga serumpun karena dalam konteks Indonesia-Malaysia tidak menjamin hubungan itu baik-baik saja. Adanya apologi ketika ada konflik, hubungan kakak-beradik tapi kadang berkelahi, rasanya sudah basi, sebaiknya kita lupakan saja kata itu," ujar Kepala Bidang Perkembangan Politik Internasional Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dra Awani Irawati, MA.

Malaysia, menurutnya, membutuhkan terapi kejut ketegasan Indonesia atas pelanggaran yang dilakukannya.

Berikut petikan wawancara Awani saat berbincang dengan detikcom, Kamis (2/9/2010).

Bagaimana tentang pidato SBY kemarin? Apakah kurang menunjukkan adanya ketegasan terhadap Malaysia?

Seperti yang telah diduga bahwa pidatonya itu normatif, menghindari adanya sikap konfrorntatif terhadap Malaysia. Saya kira secara keseluruhan pemerintahan SBY melakukan penyelesaian in accordial manner, penyelesaian berdasarkan sesuatu kalau bisa diredam.

Penekanan saya di sini kita tidak usah menggunakan kata tetangga serumpun, dalam konteks Indonesia-Malaysia tidak menjamin hubungan itu baik-baik saja. Adanya apologi karena ada konflik, hubungan kakak-beradik kadang berkelahi, rasanya sudah basi, sebaiknya kita lupakan saja kata itu

Kenapa? Karena ini menggiring Indonesia pada kondisi semuanya bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Tidak ada ketegasan seperti sikap dari Malaysia yang menyulut emosi rakyat Indonesia. Pidato Presiden general, saya yakin tidak meredam tingkat emosional masyarakat yang begitu tinggi.

Disebutkan sejarah hubungan kedua negara ini menjadi pilar penting. Masalah ini bukan ASEAN, ini bilateral. Kalau dikaitkan ASEAN, sebaiknya dikembalikan kepada piagam ASEAN, ASEAN High Council, mekanisme yang dibentuk untuk selesaikan masalah anggota ASEAN, tapi nyatanya tidak pernah digunakan. Kembali ke konteks pidato Presiden, tidak ada katakanlah sesuatu yang menggigit, agresif.

Bagaimana seharusnya ketegasan itu ditunjukkan? Apakah harus dengan perang?

Saya setuju berikan terapi shock kepada Malaysia. Seperti kasus Sipadan-Ligitan, itu dulu tingkat Soeharto dengan Mahathir, diselesaikan di ICJ (International Court Justice). Flashback sedikit tentang konflik perbatasan yang dihadapi Malaysia diselesaikan di tingkat ASEAN sebagian besar negara-negara ASEAN memiliki masalah serupa dengan Malaysia, kecuali Laos, karena Laos kan landlock state yang tidak memiliki garis pantai.

Padahal kalau di dalam penyelesaian ASEAN High Council minimal 5 negara anggota yang berikan penilaian, sementara itu mereka memiliki masalah serupa. Makanya kenapa akhirnya diselesaikan di ICJ. Dalam Sipadan-Ligitan hanya minta kepastian tentang kepemilikan, bukan penentuan perbatasan.

Ketegasan kan tidak harus perang secara fisik, bisa perang diplomasi. Tidak hanya kirimkan nota yang dalam kasus Ambalat lebih 30 nota dikirimkan ke Malaysia namun tidak digubris, akhirnya kembali ke meja perundingan dan masalahnya ngambang. Oleh karena itu, Malaysia harus diberikan sedikit shock therapy di masalah Ambalat itu, dari situ saja sudah kelihatan. Memang wacana di grass root ingin perang, tapi kan perang tidak selalu fisik.

Seperti menarik TKI. Ditarik saja, 1,5 juta TKI ambruk perekonomian Malaysia, seperti saat ada eksodus TKI tahun 2004. Kita melihat pada waktu itu betapa pembangunan ekonomi di Malaysia jadi stag sehingga ada permintaan resmi TKI ilegal agar segera memproses perlengkapan dokumen legal dan bisa dikirim kembali ke Malaysia. Kita lihat dulu pembangunan perkebunan sawit tidak ada pekerjanya, bangunan-bangunan juga, karena penduduk Malaysia itu sedikit.

Kalau mempersona non grata-kan (mengusir) dan menarik Duta Besar?

Bisa jadi. Kita pernah menarik dubes kita di Australia daripada perang fisik. Saya kira perlu diberi therapy shock buat Malaysia. Kita selama ini kesannya dipermainkan, kekuatan pertahanan kita masih di bawah mereka, banyak perbatasan kita masih terbuka, bisa dimanfaatkan sumber daya alam kita, seperti sawit dan illegal logging banyak.

Bagaimana dengan alasan Malaysia yang selalu ulur pembahasan perbatasan dengan RI, karena belum selesai dengan Singapura?

Daerah barat perbatasan RI yang berbatasan dengan Malaysia dan Singapura yang belum selesai itu di wilayah Natuna. Kalau menurut kita Malaysia sudah berada di wilayah kita, ya kita harus yakin dan pertahankan mati-matian.

Bayangkan Malaysia mampu buat peta sepihak tahun 1979 bisa memuat peta memasukkan wilayah Ambalat adalah wilayah dia, kenapa tidak bisa meyakinkan bahwa Malaysia sudah masuk pada wilayah kita. Kenapa kita tidak bisa mengcounter dengan mengirimkan nota protes?

Kenapa diplomasi kita lemah?

Para diplomat kita sebenarnya ulung, namun kembali pada kepemimpinan kita. Kepemimpinan normatif, segala sesuatunya bisa diselesaikan secara menghindari konflik fisik, tidak tegas, orang akhirnya mengacu pada Soekarno. Padahal masalah kedaulatan harus lebih bersifat tegas.

Apakah pengawasan militer kita di perbatasan kurang dan kekuatan militer kita kalah dibanding Malaysia sehingga Pemerintah keder dan tidak tegas?

Sangat kurang (pengawasan). Tapi tentara kita di perbatasana dengan keterbatasan peralatan mampu hidup survive di hutan, lebih kuat hadapi tantangan alam ketimbang Polisi Diraja Malaysia di perbatasan yang logistiknya didrop. Tak hanya tentara, kalau misalnya ada perang, rakyat kita juga banyak dan nasionalis.

Apakah anggaran pertahanan kita perlu ditingkatkan? Berapa persen idealnya anggaran pertahanan dari APBN?

Anggaran pertahanan kita memang harus ditingkatkan. Kalau sudah ada semangat tapi peralatan tidak mendukung kan celaka. Dulu dengan bambu runcing aja kita bisa menang.

Idealnya, anggaran pertahanan maksimal 20 persen, sama dengan pendidikan. Itu untuk membeli peralatan karena sudah tua semua. Kita nggak punya kapal induk, kalau lihat di wilayah begitu luas, begitu terbukanya.

No comments: