Saturday, September 4, 2010

Ilmuwan Indonesia di Balik Nobel 2007


VIVAnews – Senin, 10 Desember 2007 di Balai Kota Oslo, Norwegia ribuan pasang mata terpaku pada dua sosok, mantan Wakil Presiden Amerika Serikat, Albert Arnold Gore Jr alias Al Gore dan Ketua Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), Rajendra Pachauri.

Malam itu mereka berbagi penghargaan Nobel Perdamaian. Baik Al Gore maupun IPCC dielu-elukan sebagai ‘pahlawan iklim’.

Anugerah prestisius untuk IPCC tidak lepas dari peran seorang ilmuwan Indonesia, Profesor Daniel Murdiyarso, peneliti senior di Center for International Forestry Research (CIFOR) Bogor. Dia punya peran penting, mereview Assessment Report IV (AR4) 2007 – yang berujung pada Nobel.

Meski begitu, Daniel merasa tak berhak untuk sombong. Dia justru mengarahkan pujian untuknya – ke sekitar 3.000 ilmuwan lain yang tergabung dalam IPCC.

“Ketika mendengar soal penghargaan itu, reaksi saya sederhana – itu kan award pada institusi dan kegiatan IPCC kan dikerjakan banyak orang,” kata Daniel kepada VIVAnews.

Meski tak bisa dinafikan, ia adalah bagian dari tim yang dianugerahi Nobel. “Saya bersyukur, saya bangga jadi bagian kerja kolektif itu,” tambah dia.

Seperti dimuat situs CIFOR, Murdiyanto melihat Nobel sebagai momentum membangkitkan kepedulian masyarakat terkait isu pemanasan global. Juga menjadi inspirasi bagi orang untuk tak hanya diam, tapi berbuat sesuatu.

Memang, tak sedikit orang yang anti-pemanasan global. Mereka menganggap bahwa pemanasan global merupakan proses yang alami.

Dijelaskan Daniel, pemanasan global memang terjadi sejak zaman purba, secara gradual. Bumi membutuhkan suhu lebih panas agar bisa dihuni mahluk hidup.

Permasalahannya, pasca revolusi industri, emisi gas yang dilepaskan ke atmosfer lebih besar dan pemanasan Bumi makin tak terkendali. Oleh karena itu, emisi harus dikurangi.

“Jika dibiarkan terus, dalam waktu 100 tahun, suhu Bumi akan meningkat 4 derajat. Wilayah pinggir pantai terancam tenggelam.”

”Karena kejadiannya gradual orang tidak menyangka meningkat terus, makin parah, barulah orang kaget,” kata Daniel.

Sementara efek dari pemanasan ekstrim lebih parah lagi. Pemanasan global diduga kuat berada di balik gelombang panas di sejumlah negara.

Di Jepang, hawa panas telah menelan korban jiwa sebanyak 66 orang dan membuat 15 ribu orang harus dirawat di rumah sakit. Korban terbesar adalah lansia.

Dampak di Rusia lebih parah. Gelombang panas menyebabkan kebakaran hutan hebat. Tak hanya menewaskan puluhan orang dan membuat perekonomian rugi US$ 15 miliar. Kebakaran juga mengancam membangkitkan partikel radioaktif yang tersisa dari wilayah bencana nuklir Chernobyl 1986, ke atmosfer.

Pemanasan global juga diduga ada di balik tragedi banjir China dan Pakistan yang menewaskan ribuan jiwa.

“Kejadian di Moskow misalnya, adalah kombinasi dari pemanasan gradual dan ekstrim. Peningkatan yang mendadak tinggi akan menimbulkan stres terutama lansia.

Pemanasan global yang tak terkendali juga berpotensi membuat manusia kelaparan. Baru-baru ini Badan Urusan Pangan dan Pertanian PBB atau FAO memperingatkan pemanasan global akan memangkas ketersediaan pangan, terutama beras. Sebab, makin panas suhu, makin rendah vertilitas atau kesuburan tanaman.

“Kalau suhu terlalu tinggi, bunganya tak bisa dibuahi, hasil menurun,” tambah Daniel

Kata Daniel, ini saatnya kita bergerak. Penting bagi manusia untuk beradaptasi dengan perubahan suhu sekecil apapun, melakukan mitigasi, serta mengurangi penyebab pemanasan global.

Banyak upaya yang bisa dilakukan manusia, salah satunya mengurangi emisi deforestasi, emisi dari industri, dan melakukan penghematan energi, baik listrik maupun BBM.

Hutan rusak parah sejak Orde Baru

Hutan Indonesia punya peran penting dalam kampanye global melawan perubahan iklim. Sebagai orang yang berkecimpung di bidang kehutanan, hidup Daniel didedikasikan untuk memastikan hutan di tanah air dikelola dengan baik dan berkelanjutan.

Jika tidak, kebakaran hutan-hutan di Indonesia justru akan menyumbang emisi terbesar. Kehancuran hutan tak hanya merusah lingkungan tapi juga mematikan kehidupan masyarakat sekitar hutan yang bergantung pada hutan.

Apalagi, deforestasi adalah penyebab emisi terbanyak. “Kalau deforestasi diteruskan akan paling sedikit menyumbang 20 persen terus menerus, kalau ditingkatkan lebih dari 20 persen,” kata dia.

Hampir seluruh hutan Indonesia telah Daniel jelajahi, bahkan sampai ke pedalaman Afrika. “Paling besar laju kerusakan hutan ada di Asia terutama Indonesia, Amerika Latin terutama Brazil, dan Kongo di Afrika. Kelihatan besar rusaknya kalau dari awalnya bagus."

Indonesia harus mengurangi deforestasi. Tapi bukan berarti membuat hutan steril dari manusia. Menurut Daniel, hutan juga harus dimanfaatkan sesuai fungsinya.

“Meningkatkan manfaat, peranan hutan dalam arti lebih luas, memanfaatkan lebih banyak, tak hanya untuk pebisnis besar, tapi komunitas setempat yang jumlahnya jutaan orang.”

Pelestarian hutan juga bukan berarti meminggirkan masyarakat yang hidup dan bergantung dengan hutan. Keberadaan masyarakat di sekitar hutan tak pernah membebani pemerintah. Mereka juga punya social wisdom – nulai-nilai penghormatan terhadap hutan.

“Ekosistem hutan justru terancam oleh mereka yang sangat beruntung,” kata Daniel. Bukan masyarakat adat yang merusak hutan, melainkan industri yang dimiliki orang-orang berduit.


Kondisi hutan Indonesia makin diperparah oleh para legislator – pembuat Undang Undang – yang berpikiran pendek dan tidak pro kelestarian alam.

Misalnya, “DPR menyetujui pemekaran wilayah dan alih guna lahan. Apalagi periodenya hanya lima tahun,” kata Daniel, tertawa kecil. Para ilmuwan dan peneliti harus berdialog secara terus- menerus dengan para anggota DPR, memberikan pilihan supaya arah pembangunan benar.

Penyalahgunaan wewenang oleh pemerintah juga jadi pintu masuk pengrusakan hutan dalam skala masif. Misalnya, soal desentralisasi kewenangan.

“Kepala daerah membuat kebijakan sendiri, terkait dengan sumber daya alam,” tambah Daniel.

Diceritakan dia, hutan Indonesia mulai akut sejak kekuasaan Orde Baru, tepatnya tahun 1982.

“Deforestasi paling parah dengan kebijakan pembukaan hutan untuk lahan pertanian, pemukiman dengan target 32 juta hektar.”

“Sekarang sudah lewat [dari 32 juta hektar]. Dan masih jalan, ditambah dengan desentrasi, luas hutan Indonesia yang awalnya 120 juta hektar tinggal separuhnya.”

Efek dari kerusakan hutan ini tak melulu soal ekonomi. “Emisi bertambah, keanekaragaman hayati hilang, keindahan alam sirna. Itu semua tak bisa dinilai dengan uang,” kata Daniel.

Negara miskin yang boros

Mengurangi emisi bisa dilakukan dari rumah sendiri. “Ngomong ke mana-mana, pada banyak orang. Untuk prakteknya saya mulai dari rumah sendiri,”kata dia.

Rumahnya di kawasan Bogor Utara nampak asri. Dikelilingi 10 pepohonan besar yang dikombinasikan tanaman bunga.

“Untuk mengundang datangnya kupu-kupu dan burung,” kata Daniel. “Kita biarkan burung tinggal di sini, semut nggak disemprot [insektisida], nanti juga pergi sendiri ,” kata dia.

Juga berhemat. “Di rumah, kami mengontrol pemakaian listrik, lampu di luar tak perlu menyala terang dan dinyalakan kalau hari sudah gelap,” kata dia.

Termasuk, memilih barang-barang elektronik yang hemat energi. “Plastik tidak banyak digunakan, jika berbelanja, kami minta kardus bekas untuk membungkus belanjaan,” kata pehobi filateli dan mengumpulkan dokumen kuno itu.

Pria kelahiran Cepu 55 tahun lalu itu juga mengajak komunitas. Sebab, dia yakin kerja kolektif lebih baik dari kerja individu.

Di gereja misalnya, “kami bikin kelompok audit lingkungan -- pemakaian listrik air, BBM, dikontrol menggunakan kartu . Lalu sama-sama berupaya mengurangi pemakaian.”

Juga disediakan drop off sampah, agar sampah busa dipilah tiap minggu. Di lingkungan, gerobak sampah organik.

Hal-hal kecil bisa dilakukan untuk menyelamatkan Bumi. Sayangnya tak semua orang punya kesadaran untuk melakukan itu.

“Masalahnya, seringkali kita menggampangkan hal-hal yang dianggap sepele, padahal penting artinya.”

Gaya hidup sebagian besar masyarakat Indonesia juga tak mendukung kelestarian alam. “Kita ini miskin tapi boros, dan nggak sadar boros, ini parahnya,” kata Daniel.

Dicontohkan dia, ulah sebagian supir angkutan kota. “Mereka ngetem [menunggu penumpang] dengan mesin dihidupkan. “Ia tak sadar itu merugikan dirinya sendiri, tidak sehat, setorannya berkurang untuk bensin. Juga membuat macet karena berhenti sembarangan, pengendara lain ikut rugi.” (umi)
• VIVAnews

No comments: