Sunday, October 28, 2012

TNI AU yang Semakin Kuat dan Percaya Diri

Antara TNI AU dan RAAF

Dari sejarah panjangnya, TNI AU pada tahun 1961 pernah memiliki kekuatan udara yang membuat banyak negara menjadi ‘ngeri,’ khususnya negara disekitar Indonesia. Untuk mengukur kekuatan dan kemampuan, penulis mencoba mengulas antara TNI AU dengan RAAF (AU Australia) dengan fakta yang ada.

Dalam konflik perebutan Irian Barat, AURI (TNI AU) memiliki 25 unit pesawat bomber Tu-16KS-1. Pesawat-pesawat ini digunakan untuk mempersiapkan diri dalam Operasi Trikora tahun 1962 dalam upaya merebut kembali Irian Barat dari Belanda. Sebanyak 14 unit Tu-16 tergabung dalam Skadron 41 dan sisanya di Skadron 42, dimana kedua skadron ini bermarkas di Pangkalan Udara AURI Iswahyudi, di Madiun, Jawa Timur. Disamping itu AURI masih dilengkapi dengan pesawat tempur Mig-15, Mig-17, Mig-19, Mig-21 dan pembom ringan Il-28.

Dimilikinya TU-16 sebagai pesawat pembom modern saat ini, membuat Belanda atas saran AS akhirnya melepaskan Irian Barat kepada Indonesia, setelah AS membuktikan keberadaan TU -16 di Lanud Iswahyudi. Diplomasi kekuatan militer menunjukkan bahwa pressure ancaman secara halus dengan sedikit ’show of force’ akan dapat merubah keputusan politik 180 derajat. Walaupun pada akhirnya dengan terjadinya perubahan politik di dalam negeri Indonesia, semua unit Tu-16 tadi tidak diterbangkan lagi pada tahun 1969 dan keluar dari armada AURI di tahun 1970.

Pada saat masih aktif bertugas di TNI AU, penulis dalam suatu kesempatan mengikuti kunjungan Kepala Staf TNI AU ke Australia. Salah satu perwira Royal Australian Air Force (RAAF) mengatakan, bahwa Australia memutuskan membeli 24 buah pesawat F-111C dari pabrik General Dynamics karena Indonesia. Pembelian F-111 “Aardvark” sebagai medium-range interdictor dan tactical strike aircraft juga mempunyai peran sebagai strategic bomber dan juga sebagai pesawat pengintai untuk mengimbangi AU Indonesia. Perwira tersebut mengatakan bahwa Australia belajar banyak dari Indonesia dalam menilai pentingnya AU harus memiliki pesawat penyerang strategis. Mereka dimasa lalu sempat terkejut dengan keberadaan TU-16 yang dianggapnya mampu mengancam negaranya.

Kini, TNI AU selain memiliki pesawat hasil produksi negara-negara Barat, juga memiliki pesawat tempur dari Rusia yang tidak kalah canggihnya (SU27/30). Sementara Australia telah memutuskan pada tahun 2007 membeli 24 buah pesawat FA-18F Super Hornet seharga A$ 2,9 miliar, sebagai pesawat sementara sambil menunggu pengiriman F-35 Lightning II yang mereka pesan. FA-18 ini oleh RAAF rencananya difungsikan sebagai pengganti F-111 yang dipensiun pada akhir tahun 2010.

Pengadaan ke-24 pesawat dengan biaya pelatihan dan dukungan lebih dari 10 tahun sebesar A$6 miliar (US$4,6 miliar) telah menimbulkan kontroversi di Australia. Beberapa kritikus termasuk beberapa purnawirawan RAAF senior, diantaranya Air Vice Marshal (Ret) Peter Criss, mantan Air Commander Australia mengatakan ia “sangat terkejut” bahwa pemerintah Australia akan menghabiskan $ 6 milyar untuk Super Hornet.

Criss mengutip pernyataan yang di keluarkan oleh US Senate Armed Services Committee, bahwa Super Hornet Blok I kemampuannya lebih rendah dibandingkan dengan MiG-29 dan Su-30 yang sudah dimiliki beberapa negara di Asia Tenggara, termasuk yang baru memesannya (Indonesia). Selain itu Air Comodore (Ret) Ted Bushell menyatakan bahwa F/A-18F tidak bisa melakukan peran seperti yang disyaratkan oleh pemerintah Australia.

Dengan demikian, keberadaan Sukhoi TNI AU nampaknya telah membuat Australia menjadi kurang nyaman, hingga mereka pada saatnya nanti sudah memiliki pesawat tempur terbaru F-35 seperti yang dimiliki oleh Jepang. Inilah bukti sebuah strategi sukses keputusan pengadaan pesawat tempur sebagai alutsista (Alat Utama Sistem Senjata) utama dari TNI AU.

Pengembangan Kekuatan TNI AU

Kepala Staf TNI AU Imam Sufaat menyebutkan beberapa pesawat yang didatangkan hingga 2014, diantaranya 6 unit Sukhoi, 24 unit F-16, 16 unit Super Tucano, 16 unit jet latih tempur Korea T-50. Sejumlah pesawat angkut juga dibeli antara lain sembilan CN- 295, CN-235, serta helikopter Super Puma. Dari perincian itu, empat Super Tucano dan dua CN-295 akan datang pada tahun ini.

Dengan penambahan 24 pesawat F-16, total keseluruhan pesawat menjadi 36. “Kita akan buat skuadron baru F-16 di Pekan Baru,” katanya. Pemilihan lokasi atas pertimbangan bahwa ada Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) di wilayah Pulau Sumatera sehingga dibutuhkan pesawat tempur untuk menjaga supremasi udara. Untuk menjaga ALKI di Indonesia timur, belum ada rencana pembentukan skuadron tempur di sana. Sejauh ini masih TNI AU mengandalkan skadron Sukhoi di Lanud Hasanuddin, Makassar.

Kasau menyebutkan, pihaknya sudah memrogramkan penambahan penerbang. Hal ini untuk mengimbangi semakin banyaknya pesawat yang dimiliki TNI Angkatan Udara ke depan. Di antara program yang dijalankan adalah dengan menambah jumlah siswa penerbang. “Kalau tadinya 30 orang, sekarang menjadi 40. Kita juga membuka ikatan dinas pendek (IDP) , yang sebelumnya tidak ada,” kata Kasau. IDP adalah program pembentukan penerbang diluar jalur Akademi.

TNI AU sangat perlu membeli simulator pesawat Sukhoi. Selama ini yang dilakukan dengan mengirimkan penerbang mengikuti pelatihan di luar negeri. Biaya pelatihan, menurut dia, mahal dan berisiko besar, karena kelemahan penerbang TNI Angkatan Udara diketahui negara lain. “Padahal di sini skill penerbanglah yang menentukan ketimbang kemampuan pesawatnya. Dengan adanya simulator, kita bisa mencetak pilot handal tanpa diketahui kemampuannya,” ungkap Kasau.

Pembelian simulator ini juga untuk menghemat pengeluaran operasional Sukhoi dan jaminan keselamatan pilot selama operasional. Dengan simulator akan lebih efisien, baik dari jam terbang maupun biaya.“Satu jam terbang Sukhoi sangat mahal, mencapai Rp500 juta. Di Rusia saja memakai simulator atau pesawat pendamping. Sukhoi baru benar-benar dikeluarkan kalau ada ancaman,” jelasnya. Ada beberapa produk simulator yang dijajaki seperti Rusia, China, Kanada. Disesuaikan dengan kemampuan bahasa. Sekarang kita sudah mempunyai simulator Hawk, F-16, dan Hercules,” katanya.

Demikian perkembangan TNI AU dalam rangka berbenah diri. Dalam sebuah sistem pertahanan, dibutuhkan pertahanan berlapis yang menurut teorinya terdiri dari, radar, peluru kendali, pesawat tempur sergap dan meriam penangkis serangan udara. TNI AU telah menempatkan beberapa radar di kawasan Timur Indonesia untuk menutup dan memonitor pergerakan pesawat asing yang tanpa ijin melintas. Kebutuhan lain yang tidak kalah pentingnya adalah pengadaan peluru kendali tambahan.

Dengan keputusan besar dan positif dari Presiden SBY, dukungan politis dan kemampuan perekonomian Indonesia, TNI AU dituntut untuk lebih giat, teliti dan aman dalam melakukan pembenahan tersebut, untuk mempertanggung jawabkannya kepada rakyat Indonesia. Dengan kepemimpinan Marsekal Imam Sufaat yang juga seorang penerbang tempur handal, penulis yakin TNI AU dimasa mendatang akan menjadi kekuatan pertahanan yang semakin diperhitungkan di kawasan Asia Tenggara. Semakin kuat dan percaya diri, itulah yang harus dibuktikan bersama. Bravo dan Dirgahayu TNI AU!. Yang ikut bangga, Marsda TNI (Pur) Prayitno Ramelan,

No comments: